
Totok Hariyono
Pemilu bukan hal asing bagi Totok Hariyono. Di medan demokrasi itu, ia menyusun kompetensinya ke dalam paket lengkap: mantan kuli tinta, penyelenggara pemilu lintas level, hingga kini duduk sebagai anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dari unsur ex-officio Bawaslu.
Menilik latar belakang pendidikannya, meskipun tidak sampai selesai, Totok diketahui pernah menempuh pendidikan di IKIP PGRI Malang. Di tempat ini Totok justru mulai belajar berorganisasi dan membangun jejaring antarkelompok pro demokrasi untuk membangun Indonesia yang lebih baik. Totok kemudian menimba ilmu di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Sunan Giri dan mendapat gelar Sarjana Hukum pada Tahun 2006.
Pria kelahiran Malang, 5 Februari 1967 ini memulai hidup profesionalnya di dunia yang penuh deadline dan bunyi mesin tik : Harian Pagi Memo Arema, Memorandum, Jawa Pos Group. Sejak 1987 dan dua puluh tahun berikutnya malang melintang di dapur redaksi—termasuk sebagai Pemimpin Redaksi—memberinya satu bekal penting: kemampuan mencium aroma ketidakberesan dan menyusunnya menjadi informasi yang disiarkan untuk publik.
Dari ruang redaksi, Totok lalu menguji Indera pengawasannya dengan terjun ke dunia kepemiluan. Kariernya menanjak stabil seperti grafik partisipasi pemilih yang ideal: Panwaslu Pilkada Kabupaten Malang (2005) dan Panwaslu Pilgub Jatim (2008).
“Pelanggaran etik terberat dan kejahatan tertinggi dalam pemilu adalah pencurian suara,”
-Totok Hariyono-
Dari situ, dengan memanfaatkan insting wartawan yang senantiasa tertantang untuk mencoba hal-hal baru, Totok mendorong dirinya secara lebih intensif untuk bekerja sebagai penyelenggara pemilu dengan mengenyam jabatan sebagai Anggota KPU Kabupaten Malang selama dua periode (2009–2019). Tangga karirnya ditapaki lebih tinggi saat ia dipercaya menjadi Anggota Bawaslu Provinsi Jawa Timur (2017–2022).
Pada jenjang berikutnya, melalui uji kelayakan dan kepatutan, Totok kemudian terpilih sebagai Anggota Bawaslu RI periode 2022–2027 dan memimpin Divisi Hukum dan Penyelesaian Sengketa. Divisi ini kian membuatnya terbiasa dalam menyelesaikan sengketa dan persoalan huukm kepemiluan.
Kini, sebagai anggota DKPP ex-officio Bawaslu, pengalaman panjang itu menjadi semacam kompas etika yang siap menunjuk arah ketika penyelenggara pemilu berpotensi keluar jalur.
Berdasarkan pengalamanya sebagai penyelenggara pemilu di berbagai tingkatan, Totok menyimpulkan, utamanya terkait Pemilu tahun 2024, bahwa tidak ada satu tahapan pun yang terlewat tanpa pelanggaran etik. Dan, menurutnya, “Pelanggaran etik terberat dan kejahatan tertinggi dalam pemilu adalah pencurian suara”.
Meski kini disibukkan urusan pengawasan pemilu dan kepatuhan etik penyelenggara pemilu, Totok tak pernah melupakan akar jurnalistiknya. Ia menegaskan dunia kewartawanan adalah sekolah kehidupan yang membekalinya dalam menjaga integritas pemilu. Menurutnya, objektivitas dan akurasi bukan hanya menjadi prinsip jurnalistik, tetapi juga bagian dari anasir penting demokrasi. Baginya, menjaga etika penyelenggara pemilu dan memperkuat kualitas informasi publik bukan hanya tugas, melainkan panggilan yang sudah mengakar sejak era mesin tik.

